Selasa, 19 Oktober 2010

Potret Seorang Indo

Oleh Bekti Supriadi



Panggil aku Djoko. Yah...Itulah namaku. Aku dilahirkan di Solo 12 tahun yang lalu. Teman-temanku sering sekali mengejek aku dengan sebutan Belanda Jawa. Aku tidak pernah merasa di dalam tubuhku mengalir darah penjajah. Perawakanku sama seperti orang Jawa pada umumnya. Kulit sawo matang kehitam-hitaman, rambut hitam ikal, dan mataku coklat. Namun ada satu dari tubuhku yang membedakan aku dengan orang Jawa. Tubuhku lebih tinggi dan kekar dibandingkan dengan anak seusiaku. Namun aku tidak pernah merasa di dalam tubuhku mengalir darah penjajah. Sampai akhirnya aku menemukan….
“ Ibu, mengapa teman-temanku memanggilku Belanda Jawa ?”
“ Biarkan saja Djok. Toh kamu memang bukan orang Belanda. Wong nama kamu saja Djoko. Masa ada orang Belanda namanya Djoko.” 
Aku terdiam sejenak. Aku memikirkan kata-kata ibu barusan. Memang benar, mana ada orang Belanda namanya Djoko. Selain itu aku juga dilahirkan di Solo. Tetanggaku tahu betul siapa keluargaku dan darimana asal keluargaku. Setahuku, aku juga tidak memiliki saudara dari Belanda. “ Aku ini wong Jowo tulen! Teriaku dalam hati.”
Seharian aku terus bertanya kepada ibuku, apakah aku memiliki saudara dari Belanda. Namun ibu selalu menggelengkan kepalanya. Aku pergi keluar rumah meninggalkan ibuku yang sedang menanak nasi dengan membawa pertanyaan di kepalaku. Rasa penasaran ini terus memburuku. 
“ Mungkin teman-temanku tahu asal-usul keluargaku. Kalau tidak mengapa mereka terus saja memanggilku Belanda Jawa. Jika mereka tidak tahu, akan aku tanyakan pada ibu atau ayah mereka, pikirku.”
Aku pergi ke rumah Tono, teman sebayaku yang paling sering mengejekku. Padahal sekali lagi, aku tidak pernah merasa di tubuhku mengalir darah penjajah. Rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku. Tinggal menerobos kebun singkong dan lapangan bola tempat biasa aku bermain dengan teman-temanku.
Sore itu cuaca sangat cerah. Daun-daun berguguran dari pohon kapuk yang meranggas. Sayangnya tanah di desaku hari itu sedang becek. Tadi malam hujan mengguyurnya hingga pagi hari. Namun seperti kebanyakan anak-anak kampung lainnya, keadaan seperti ini digunakan mereka untuk bermain bola sambil kotor-kotoran. 
Aku sampai di pinggir lapangan sepak bola, tempat biasa aku dan teman-temanku bermain. Dari kejauhan aku melihat teman-temanku sedang asyik mengejar bola. Baju mereka tampak sudah tidak bersih lagi. Seperti kain untuk mengepel tepatnya. “ Kalau aku menyapa mereka pasti aku akan diejek habis-habisan, pikirku.” Tapi hanya ini jalan satu-satunya menuju rumah si Tono. Aku melengos saja berpura-pura tidak melihat mereka. Namun tiba-tiba, Dimin menyepakkan bola dengan sengaja ke arahku. Mereka bersama-sama mengejekku. Satu dari mereka memintaku untuk mengambilkan bola yang tadi mengenaiku. Perasaanku sedih. Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku lari sekuat yang ku bisa agar tidak terlihat kalau aku meneteskan air mata.
Aku bingung. Mengapa teman-temanku memperlakukan aku seperti ini. Apakah ini sisa-sisa dari kebijakan rasialisme yang diterapkan kolonial Belanda di Indonesia atau Hindia pada saat itu? Bukankah zaman sekarang orang Indo mudah sekali mendapatkan tempat istimewa dalam tatanan masyarakat. Lihat saja mereka yang hanya berbekal tampang Indo –hidung mancung dan kulit putih. Mereka bebas menentukan arah hidup mereka tanpa tekanan dari sekeliling mereka. Toh, bila aku Indo berkulit hitam, aku pun bebas menentukan duniaku tanpa cercaan kalian!
5 menit kemudian aku sampai di rumah Tono. Di pekarangannya ada sebuah bale yang biasa digunakan oleh ibunya untuk bersantai dikala sore. Udara sejuk di bawah pohon jambu membuat Pak’le Hadjar ketiduran. Aku mendekatinya dan manyapanya. Aku langsung bertanya asal-usul keluargaku padanya. 
“ Pak’le, apakah Pak’le tahu tentang keluargaku?”
“ Maksudmu?”
“ Asal-usul keluargaku. Pak’le kan sudah lama kenal dengan keluargaku.”
“ Ayahmu lahir di Solo dan ibumu di Brebes.”
“ Maksudku, apakah aku keturunan Belanda?”
Wajah ayahnya Tono berubah seketika. Ia bangun dari duduknya dan bertingkah aneh Seakan-akan ada sesuatu yang disembunyikannya. Ia mengatakan bahwa hanya itu saja yang ia ketahui. Tidak ada yang lain. Pak’le Hajdar masuk ke dalam rumah ketika aku terdiam. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa sebuah map berwarna biru. Map itu sudah sangat usang dan berdebu. Baunya seperti daun teh yang baru saja dipetik. Pak’le membuka map itu dan mengambil sebuah foto di dalamnya. Sebuah foto hitam putih yang berwarna kecoklatan diperlihatkan kepadaku. 
Aku tidak percaya melihatnya. Itu adalah foto keluargaku. Foto itu diambil ketika ayah dan Pak’le Hadjar masih berusia 5 tahun. Di balik foto itu bertuliskan tahun 1920, Solo. Pak’le Hadjar menunjuk seorang perempun muda yang sedang menggendong ayahku. Perempuan itu bernama Sarijem. Ia adalah bidan yang membantu persalinan nenekku melahirkan ayah. Pak’le Hadjar mengatakan, jika aku ingin tahu asal-usul keluargaku yang sebenarnya, aku harus mencari Sarijem di Desa Kepuhsiri.
***
Desa Kepuhsiri dahulunya adalah bekas tangsi tentara pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Sekarang desa itu menjadi sebuah perkampungan. Letaknya bersebrangan dengan desaku. Keesokannya aku pergi ke Desa Kepuhsiri menggunakan sepeda ontel milik ayahku. Sepeda ini adalah warisan dari kakekku. Kini aku yang memilikinya. Jalan berbatu membuat stang sepedaku oleng. Hembusan angin di Bulan November begitu kencangnya. Kemudian aku sampai di sebuah jalan kecil berbatu. Di ujung jalan itulah rumah Sarijem.
Dinding rumah Sarijem seluruhnya terbuat dari bilik bambu. Sebelah kanan dan atapnya memberikan ruang untuk cahaya matahari masuk ke dalam. Rumah itu hanya memiliki 2 ruangan. Sebuah ruangan yang disebut ruang tamu menyatu dengan sebuah kamar tidur kecil. Lurus lagi ke dalam langsung dapur. Lalu sebelah kiri dapur, pojok kanan, sebuah kamar kecil penuh dengan kecoa dan sarang laba-laba yang nantinya kita sebut kamar mandi.
Ketika aku masuk ke dalam rumahnya. Tampak seorang wanita tua menyambutku dengan ramah. Seluruh wajahnya dipenuhi dengan kerutan yang menandai bahwa ia sudah tidak muda lagi. Pakaian yang dikenakannya hanya sebuah kebaya dan kain batik lusuh. Ia menghampiriku dengan langkah gontai seakan-akan semua tulangnya ingin rontok. 
“ Le, gole’i sopo?”
“ Madosi Mbah Sarijem.” 
“ Ono opo tho, le? Aku Mbah Sarijem.”
“ Saya Djoko Mbah, anaknya Karno. 60 tahun silam Mbah membantu persalinan ayahku.”
Mbah Sarijem maju beberapa langkah mendekatiku. Cukup lama ia memandangi wajahku seakan-akan sedang mengingat-ingat. Kemudian ia mulai bicara.
“ Oh…ya..ya, saya ingat. Nenekmu Tumio kan?”
“ Iya mbah…”
“ Ada apa kamu ke sini?”
Kami berdua duduk di bale lapuk yang terbuat dari bambu. Wajah Mbah Sarijem memancarkan cahaya kegembiraan disertai kesedihan akan kenangan masa lalu. Ia terus saja memandangiku sambil sesekali meraba-raba wajahku. Perlahan, seakan-akan ia sedang mengingat-ingat kejadian itu.
Mbah Sarijem lahir di Desa Kepuhsiri ketika pendudukan kolonial Belanda bertengger dengan nyamannya di tanah Indonesia atau Hindia-Belanda saat itu. Ketika itu usianya 16 tahun. Ia hadir di dalam keluargaku sebagai bidan yang membantu kelahiran ayah. Namun sampai saat ini tidak ada yang tahu pasti kapan ia dilahirkan karena saat ia menjadi bagian dari keluarga kami seluruh keluarganya telah tiada. Ibu dan ayahnya meninggal karena musibah kebakaran. Begitu juga dengan akte kelahirannya. Ia kembali masuk ke dalam rumah dan keluar membawa sebuah kotak kecil berdebu yang terbuat dari kayu mahoni berpelitur coklat. Di dalamnya lagi-lagi terdapat sebuah foto hitam putih. Kembali sebuah gambaran keluarga yang muncul. Namun kali ini sebuah foto keluargaku lengkap dengan kakek dan nenekku. Mereka berdiri di sebelah kanan dan kiri mengapit ayahku yang masih bocah. Di sebelahnya berdiri anak laki-laki yang tidak aku kenal. Anak itu sangat berbeda dengan ayahku. Ia berkulit putih, hidungnya mancung dan rambutnya pirang. Kemudian Mbah Sarijem menceritakan bahwa itu adalah adik ayahku. Namanya Tjarlie Robinson. 
*** 
Tentang Om Tjarlie, aku tidak mendapatkan banyak informasi dari Mbah Sarijem. Namun aku pernah diceritakan oleh ayahku sebelum ia meninggal dunia bahwa Om Tjarlie sangat baik. Ia lahir seperti air susu yang jatuh di dalam segelas kopi Indisch yang terkenal itu. Perawakannya tinggi, hidungnya mancung dan kulitnya putih dengan sedikit bintik-bintik merah. Berbeda sekali dengan keturunan ”wong londo” pada umumnya yang memiliki banyak bintik merah pada kulitnya karena cuaca Hindia yang sangat terik. Wataknya sangat lemah lembut. ” Ayah masih ingat betul ketika ada seekor anjing kampung yang tertabrak mobil, ia mengambil bangkainya dan menguburnya di halaman belakang rumah, katanya.”
Kami berdua sama-sama bersekolah di ELS atau Sekolah Dasar Eropa di Solo saat itu. Ia sangat pintar, terutama pelajaran ilmu bumi dan menghitung. Setelah pulang sekolah bisanya kami bermain layang-layang atau kelereng bersama teman yang lain di halaman belakang rumah Meneer Adriaan Moens yang berada di kampung seberang. Rumah itu sangat besar dengan empat tiang penyangganya yang dipelitur putih. Di depannya terdapat kebun yang sangat luas dengan ditanami Rhabarber, Geranium, pohon asam, jeruk, dan mangga. 
Namun ayah menganggapnya agak aneh dengan keputusannya untuk menjadi tentara Hindia-Belanda. Ia dikirim ke Belanda untuk menjalani karantina selama 10 tahun. Setelah kembali ke Hindia, ia ditempatkan di kampung kita dengan pangkat kolonel. Suatu ketika terjadi wabah penyakit pes di kampung kita. Semua Dokter Belanda sudah angkat tangan menangani kejadian ini. Banyak warga kampung yang meninggal dunia. Melihat kejadian itu Om Tjarlie tidak ambil diam. Ia mendengar bahwa di Betawi ada seorang Dokter Djawa bernama Tjipto Mangoenkoesoemo yang sangat ahli. Kemudian ia berangkat ke sana dan kembali lagi setelah tiga hari bersama Dokter Djawa itu. Seminggu setelah itu, wabah penyakit di kampung kita berangsur-angsur menghilang. Om Tjarlie juga sangat berbeda dengan Tentara Belanda lainnya yang suka menghardik warga kampung. Ia justru sering bercerita kepada anak-anak sekitar kampung tentang pengalamannya selama di Negri Kincir Angin
***
Kini aku berusia 21 tahun. Setelah menamatkan kuliahku, aku mendapatkan beasiswa dan berkesempatan untuk mendapatkan gelar Magister di Belanda. Di kota Delft tepatnya. Kesempatan ini aku gunakan untuk mencari Om Tjarlie yang menurut Mbah Sarijem pidah ke Belanda setelah Hindia-Belanda dikuasai Jepang pada tahun1942. Saat itu mereka berdalih sebagai saudara tua yang datang untuk melepaskan belenggu penjajahan di Tanah Hindia. Walaupun pada akhirnya mereka pun menjajah. 
Aku tidak tahu-menahu tentang Om Tjarlie di Belanda. Aku hanya memiliki selembar foto tua pemberian Mbah Sarijem dan sepucuk surat dari ayah sebelum ia meninggal. Begini isinya....

           

           Solo, 23 September 1991

     Anakku Djoko, setelah kau membaca surat ini, itu berarti ayah telah tiada. Ada satu rahasia yang belum sempat ayah ceritakan kepadamu. Sebenarnya di dalam tubuhmu masih mengalir darah Belanda dari kakek buyutmu. Ia adalah seorang Mandor di sebuah perkebunan kopi di kampung kita. Beberapa tahun kemudian, ia jatuh hati dengan seorang gadis pribumi. Kamu memiliki Om yang bernama Tjarlie Robinson. Kini ia tinggal di Belanda bersama kelurganya. Ayah ingin kamu mencarinya di sana. Ayah yakin ia pasti mau menerimamu agar kamu kelak bisa menimba ilmu di Belanda. Maafkan ayah baru cerita sekarang karena ayah tidak mau kamu dicemooh oleh orang kampung karena darah Belanda yang mengalir dalam dirimu. Ayah pernah dikabari bahwa sekarang ini Om Tjarlie tinggal di Delft. Bawalah surat ini dan berikan padanya.

                                                                                                                                                       Wassalam

                                                                                                                                                        Ayahmu 


Aku menyimpan surat dari ayah ini di dalam saku kemeja garis-garisku. Langkah pertamaku di Delft disambut dengan hembusan angin musim gugur dan dedaunan yang ikut terbang membawa masa kecilku. Dari kejauhan, di sebuah kantor pemerintahan daerah kota Delft, terdengar suara paduan suara yang dihujani bunyi musik yang mendayu-dayu. Lembut...dan lama-kelamaan semakin lirih dan menghilang dalam sekejap. Aku berlari mencari-cari apa yang terjadi dengan orang-orang yang bernyanyi barusan. Aku menemukan semua kepala mereka tertegun dan beberapa menit kemudian kembali tegak. Setelah aku bertanya dengan bahasa Belandaku yang pas-pasan, aku menemukan bahwa saat ini sedang diperingatinya hari mengenang para pahlawan yang gugur pada PD II. Kemudian orang-orang itu bergegas ke pemakaman yang tidak jauh dari situ dengan seikat bunga tulip disetiap genggam. Diam-diam aku ikuti mereka sampai ke pemakaman. Di depan pemakaman itu terpampang sebuah papan putih besar yang bertulisakan nama-nama pahlawan yang dimakamkan di sini. Sepintas aku teringat dengan Om Tjarlie yang juga bekas tentara PD II. Aku mencari namanya dari atas ke bawah, kanan ke kiri dan kembali lagi atas. 
Di pojok kanan atas aku menemukan sebuah nama yang hampir pudar. Jantungku berpacu kencang. Mataku terbelalak dan nafasku terengah-engah. Om Tjarlie yang ku cari ternyata satu dari sekian ribu tentara yang gugur di medan perang. Selang berapa menit aku menemukan makamnya. Di sana sudah berdiri terlebih dahulu seorang gadis cantik berambut pirang dan berkulit putih seperti malaikat bule. Aku mendekatinya dan dari radius beberapa meter sudah tercium bau parfum sang malaikat yang memikat hati. aku jabat tangan halusnya. Evelyn namanya. Aku menjelaskan padanya bahwa aku keponakan Om Tjarlie dari Indonesia. Aku berikan juga foto tua pemberian Mbah Sarijem. Kemudian kami pergi dari pemakaman dan menuju kampus baruku.
Setelah 10 tahun aku tinggal di Belanda dan mendapatkan gelar Master, aku masih menganut adat-budaya leluhurku Jawa. Aku beniat untuk melestarikannya walaupun aku berada jauh dari Tanah kelahiranku. Dimana pun aku berada, jiwaku tetap di Jawa.


   
  Depok, 27 Juli 2010