Minggu, 22 Juli 2012

ANAK KOLONG

PROLOG

Amsterdam, sebuah kota metropolitan di Belanda. Dahulunya merupakan sebuah kota pelabuhan kecil yang maju pesat akibat perdagangan di Eropa pada abad ke-17. Banyak seniman, ilmuwan dan orang cerdas lainnya yang hijrah ke Amsterdam setelah jatuhnya Pelabuhan Antwerpen di Belagia Utara karena serangan kerajaan Spanyol yang dipimpin oleh Raja Philips II. Semenjak saat itu, Amsterdam menjadi jantung bagi pergerakan kehidupan masyarakat Nederlanden. 

Di sebuah rumah bergaya Renaissance, tidak jauh dari aliran Sungai Rijn, seorang pemuda bertubuh tegap terbelalak hampir tak percaya dengan apa yang ditemukannya. Sepucuk surat dan sebuah koper tua berwarna coklat tertata rapih di zolder rumahnya. Koper itu terkunci dengan sebuah gembok aneh. bentuknya menyerupai seekor naga bermahkota dan bersayap. Mata gemboknya memiliki dua lubang yang panjangnya sekitar 5 cm, masing-masing berada di kanan dan kiri. Di tengahnya terdapatnya tiga digit kombinasi angka yang tidak kalah anehnya. Angka itu bukanlah angka romawi atau angka-angka universal lainnya yang dikenal oleh masyarakat dunia. Gembok itu sepertinya sengaja dibuat agar tidak seorangpun dapat membukanya. Stevanus Adrianus, mahasiswa tingkat akhir Universitas Leiden berusaha mencari jalan untuk membuka gembok itu. Ia mengambil sebuah linggis panjang dan menghantamkannya ke gembok itu dengan sekuat tenaga. Suara hantaman linggis yang beradu dengan gembok menggetarkan atap rumah. Namun gembok itu tak bergeming sedikitpun. Kedua kalinya ia mencoba menghantam gembok itu dengan linggis, tapi kali ini sedikit mencungkilnya. Gembok itu pun tak berubah dari bentuk awalnya.

Di lantai bawah, Robert van de Parra paman Adrianus yang sedang mendengarkan musik klasik dari piringan hitam, mulai merasa terganggu dengan suara bising-bising di atas kepalanya. Ia bangkit dari kursi goyangnya dan mematikan piringan hitam yag ia beli di pasar tweedehands minggu lalu. Raut wajahnya berubah menjadi kasar. Keriput-keriput di sekeliling dahi dan lehernya menegang. Matanya bringas bagai harimau bengali yang melihat buruannya berlari-lari di depan matanya. Ia menuju ke pojok rumah dan mengambil tongkat golf tuanya. kemudian ia mengambil sebuah tangga lipat di gudang dan merentangkannya di dinding. Di gedor-gedornya atap rumah dengan tongkat golf kesayangannya. Duk...duk..duk...dukdukdukduk. "Hei! Siapa itu di atas? Adrianus, kau kah itu?" "Apa yang sedang kau lakukan di atas sana? Cepat turun! Kau telah mengganggu kesenanganku." Tak ada jawaban dari atas sana. Hingga beberapa kali Robert melakukan hal yang sama dan akhirnya amarahnya tak dapat dibendung lagi. Ia menaiki tangga rumah yang terbuat dari kayu mahoni dan dihiasi karpet coklat gading dengan perlahan-lahan agar mangsanya di atas tidak mendengarnya. Pada langkahnya yang kesekian, tak sengaja ia menginjak bagian tangga yang sudah lapuk. Bunyinya menimbulkan suara berdenyit seperti mobil yang kehabisan bensin. "Hampir saja, pikirnya." Dua anak tangga lagi ia sampai di zolder. Ia berjalan menggunakan ujung jari-jari kaki seperti balerina sekolah menengah yang sedang pentas di acara liburan musim dingin.